Kapan Waktu Malam Lailatul Qadar?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi tahu oleh Allah kapan itu lailatul qadar. Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda:
إِنِّي خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ، فَرُفِعَتْ، وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوهَا فِي التِّسْعِ وَالسَّبْعِ وَالْخَمْسِ
“Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya. Mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di Sembilan (malam Sembilan terakhir, yaitu maksudnya malam ke 21), tujuh (maksudnya malam ke 23), dan lima (malam ke 25).” (HR Al-Bukhari no 49)
Sehingga kapan pastinya tidak diketahui lagi jatuhnya malam lailatul qadar. Hadits ini juga menjadi dalil bahwasanya rahmat Allah bisa terangkat gara-gara pertengkaran. Padahal sebelumnya Nabi telah mengetahui kapan lailatul qadar akan tetapi setelah terjadinya pertengkaran, beliau menjadi lupa. Akhirnya tidak diketahui kapan tepatnya lailatul qadar.
Terangkatnya lailatul qodar merupakan mushibah, akan tetapi Nabi berkata “Bisa jadi itu lebih baik bagi kalian”. Karena diantara hikmah Allah menyembunyikan kapan lailatul qodar agar kaum muslimin beribadah kepada Allah 10 hari terakhir seluruhnya, karena kalau diketahui dengan pasti kapan lailatul qodar maka kebanyakan orang hanya semangat beribadah pada malam tersebut saja, sementara panen pahala bukan hanya di malam lailatul qodar, akan tetapi seluruh malam Ramadhan adalah musim panen pahala terutama 10 hari terakhir. Oleh karenanya terkadang tersebar di medsos bahwasanya malam ini atau malam itu adalah lailatul qodar dengan memastikan maka hal ini bertentangan dengan hikmah yang dikehendaki oleh Allah.
Nabi mengatakan:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)
Akan tetapi pastinya malam ganjil yang ke berapa masih menimbulkan tanda tanya. Para ulama banyak membahas tentang masalah ini. Dijumpai sebagian sahabat seperti Ubay bin Ka’ab pernah bersumpah tentang kapan malam lailatul qadar itu secara pasti.
عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ أُبَىٌّ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَاللَّهِ إِنِّى لأَعْلَمُهَا هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata mengenai malam lailatul qadar, “Demi Allah, aku sungguh mengetahui malam tersebut. Malam tersebut adalah malam yang Allah memerintahkan untuk menghidupkannya dengan shalat malam, yaitu malam ke-27 dari bulan Ramadhan.” (HR Muslim no. 762)
Juga dalam hadits yang lain dari ‘Abdah dan Ashim bin Abi An Nujud, mereka mendengar Zirr bin Hubaisy berkata,
سَأَلْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَقُلْتُ: إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ: مَنْ يَقُمِ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ؟ فَقَالَ رَحِمَهُ اللهُ: أَرَادَ أَنْ لَا يَتَّكِلَ النَّاسُ، أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِي رَمَضَانَ، وَأَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ، ثُمَّ حَلَفَ لَا يَسْتَثْنِي، أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ، فَقُلْتُ: بِأَيِّ شَيْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ؟ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ، قَالَ: بِالْعَلَامَةِ، أَوْ بِالْآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ، لَا شُعَاعَ لَهَا
“Aku pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, aku berkata, sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata, barangsiapa mendirikan shalat malam selama setahun pasti akan mendapatkan Lailatul Qadr”, Ubay bin Ka’ab berkata, “Semoga Allah merahmatinya, beliau bermaksud agar orang-orang tidak bersandar (pada malam tertentu untuk mendapatkan Lailatul Qadr), walaupun beliau (Ibnu Mas’ud) sudah tahu bahwa malam Lailatul Qadr itu di bulan Ramadhan, dan terdapat pada sepuluh malam terakhir, dan pada malam yang ke dua puluh tujuh”. Kemudian Ubay bin Ka’ab bersumpah tanpa istitsnaa’ (tanpa menyebutkan kata InsyaAllah setelahnya), dan yakin bahwa malam itu adalah malam yang ke dua puluh tujuh. Aku (Zirr) berkata, “Dengan apa (sehingga) engkau berkata demikian wahai Abul Mundzir?” Beliau berkata, “Dengan tanda yang pernah Rasulullah kabarkan kepada kami, yaitu matahari terbit pada pagi harinya tanpa sinar yang terik.” (HR Muslim no. 762)
Namun terdapat riwayat-riwayat lain tentang terjadinya malam lailatul qadar selain malam ke 27 Ramadhan seperti dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwa malam lailatul qodar pernah terjadi di zaman Nabi pada malam ke 21.
Nabi berkata ketika itu:
وَقَدْ أُرِيتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ، ثُمَّ أُنْسِيتُهَا، فَابْتَغُوهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ، وَابْتَغُوهَا فِي كُلِّ وِتْرٍ، وَقَدْ رَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ
“Dan sungguh aku telah diperlihatkan malam ini kapan lailatul qodar lalu aku dilupakan, maka carilah lailatul qodar di sepuluh malam terakhir dan carilah di setiap malam ganjil. Dan sungguh aku telah melihat (tatkala lailatul qodar) aku sujud di atas air dan becek”
Abu Sa’id al-Khudri berkata:
فَاسْتَهَلَّتِ السَّمَاءُ فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ فَأَمْطَرَتْ، فَوَكَفَ المَسْجِدُ فِي مُصَلَّى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ، فَبَصُرَتْ عَيْنِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَظَرْتُ إِلَيْهِ انْصَرَفَ مِنَ الصُّبْحِ وَوَجْهُهُ مُمْتَلِئٌ طِينًا وَمَاءً
“Maka muculah tanda-tanda mau hujan di malam tersebut, lalu turunlah hujan. Lalu hujan masuk melalui sela-sela atap masjid pada malam 21. Lalu mataku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan aku melihat beliau selesai sholat subuh dan wajah beliau penuh dengan air dan becek” (HR Al-Bukhari no 2018)
Ini dalil bahwa lailatul qodar pernah terjadi pada malam 21 dan turun hujan ketika itu.
Karenanya para ulama berselisih tentang kapan lailatul qodar. Adapun ulama syafi’iyah maka secara umum mereka berselisih menjadi dua pendapat. Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa lailatul qodar terdapat di malam tertentu diantara malam-malam ganjil 10 malam terakhir dan malam tersebut tidak berpindah-pindah. Namun sangat diharapkan bahwa malam tersebut adalah malam ke 21 atau malam ke 23. Adapun al-Muzani (yang merupakan murid langsung Imam Asy-Syafi’i) berpendapat bahwa malam lailatul qodar berpindah-pindah dari satu tahun ke tahun yang lain. Dan ini pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi (lihat Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 6/450). Dan ini pendapat yang lebih kuat berdasarkan hadits-hadits yang lalu bahwa di zaman Nabi pernah terjadi lailatul qodar malam ke 21 dan juga malam ke 27. Menurut An-Nawawi pendapat inilah satu-satunya cara yang bisa mengkompromikan hadits-hadits tersebut. Wallahu a’lam bis showaab.
Malam Lailatul Qadar Hendaknya Memperbanyak Ibadah
Hendaknya setiap muslim benar-benar memanfaatkan malam-malam tersebut untuk mencari malam lailatul qadar. Nabi bersabda tentang keutamaan orang yang beribadah pada malam lailatul qadar:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR Bukhari no. 1901)
Pada malam itu pula dianjurkan untuk membaca sebuah doa. Dalam sebuah hadits, dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti kuucapkan?” Nabi bersabda:
قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
“Berdo’alah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR Tirmidzi no. 3513 dan Ibnu Majah no. 3850)
Maka hendaknya setiap muslim menghidupkan malam-malam tersebut. Mengisinya dengan berbagai macam ibadah mulai dari shalat, membaca Al-Quran, berdzikir, beristighfar, semua itu dilaksanakan dengan penuh keimanan dan keyakinan terhadap janji Allah. Dan lebih baik lagi jika seseorang beri’tikaf di 10 hari terakhir sehingga berada dalam kondisi sempurna tatkala malam lailatul qodar.
Artikel ini diambil dari Tafsir Juz ‘Amma Surat Al-Qadar Karya DR. Firanda Andirja, MA.